Isu terpenting di masa depan adalah perang budaya. Pintu utamanya adalah pemikiran. Perubahan pola piker dapat diyakini sebagai alat terpenting dari suatu pembentukan budaya baru. Pencerahan budaya, dengan demikian hanya dapat dilakukan dengan pencerahan pemikiran. Pemikiran merupakan poros tindakan manusia. Tindakan yang menjadi kelajiman akan segera berubah menjadi permakluman masyarakat. Selanjutnya permakluman itu lambat laun akan menjadi budaya yang diterima oleh public.
Sejak abad ke-8, amat sulit kita menunjuk kurun waktu dimana system social Islam, benar-benar hidup dan memiliki jiwa islami. Umat Islam, terutama saat ini, tidak lagi menjadi rujukan nilai bangsa-bangsa. Umat yang demikian pada hakikatnya sudah mati.
Matinya suatu kaum atau suatu umat sangat dipengaruhi oleh kematian budayanya. Tanda-tanda matinya suatu kebudayaan dapat dilihat dari sumbangannya bagi kemanusiaan. Saat ini, umat islam yang secara normatif, sarat dengan moralitas yang mulia, ternyata tak dapat berbuat apa di hadapan dunia yang makin hari makin menawarkan sistem nilai yang sangat rapuh. Budaya permisif sudah sangat melekat dengan mayoritas bangsa Islam di dunia saat ini. Seolah-olah dunia yang mengajarkan mentalitas bobrok hanya tertolak oleh Al-Qur’an, tapi amat sulit ditolak oleh komunitas beragama Islam (masyarakat).
Mengapa demikian? Umat islam tidak berdiri dari suatu system yang dapat menghasilkan budaya dengan sejumlah karya kemanusiaan yang berarti. Umat Islam seolah kehilangan visi tentang kemajuan dan masa depannya. Amat tampak ketidak-berdayaan umat dalam menghadapi derasnya serangan budaya materialisme. Umat islam tak berdaya menghadapi propaganda budaya barat yang bisa disebut perang budaya. Takluknya umat islam kepada budaya barat, adalah alamat kematian umat di masa yang akan dating.
Perang pemikiran hanya menyerang tokoh-tokoh atau pemuka-pemuka masyarakat. Pemuka masyarakat, dalam teori kemasyarakatan, merupakan patron (suri tauladan) yang sangat pengaruh dalam perubahan nilai dan budaya. Karena itu, para pemuka masyarakat memegang peran penting dalam ketahanan budaya. Dalam islam, took atau pemukanya dikenal dengan ulama. Ulamalah yang memiliki tanggung jawab paling penting dalam melakukan transformasi ini.
Selanjutnya, perang budaya akan merambat ke dalam jantung komunitas Islam, yakni keluarga. Jika keluarga-keluarga islam sudah mulai permisif dengan budaya yang dikampanyekan media barat, maka ajal umat Islam sebagai suatu masyarakat akan segera dating.
Inti ambisi budaya barat dengan pandangan materialismenya yang tengah menyerang keluarga muslim adalah rusaknya moral anak-anak. Kehidupan dan pergaulan bebas, pengagungan materi dan uang, pengikisan budi pekerti, merupakan senjata-senjata masal yang amat berbahaya bagi keluarga Muslim. Kasus yang sedang mendera keluarga Muslim saat ini, selain narkoba adalah pornografi. Hal ini sangat rawan bagi masa depan umat, karena pornografi dalam kenyataannya menjadi sebab beberapa kasus kejahatan sosial.
Sistem pendidikan memiliki beban yang sangat berat dalam konteks ini, mengingat dalam pembentukan budaya dan perubahan sistem sosial hanya dapat dilakukan dengan cara perubahan berfikir. Jika cara pandang materialisme masih dominan dalam masyarakat, maka otomatis tantangan masa depan umat Islam makin kompleks. Jika lembaga rumah tangga benar-benar berfungsional menjadi sekolah pertama yang menanamkan karakter moral dan wawasan keilmuan bagi anak-anak, dapat bergerak simultan dengan sistem pelembagaan pendidikan baru, maka setidak-tidaknya akan mengurangi kekhawatiran orng tua untuk melepaskan anaknya ke masyarakat atau menitipkannya ke lembaga pendidikan forml yang ada.
disadur dari buku : Rumahku Sekolahku