- Details
- Category: Falsafah
- Hits: 2867
PELURUHAN? Ya, saya piker Dunia Ketiga sedang melewati satu babakan baru. Seringkali semua ini tampak seperti anarki, namun sering juga anarki mengarah kepada perubahan. Masih lebih bagus anarki daripada feodalisme. Ketika stabilitas dibeli dengan harga berapapun, ia akan hanya berujung pada ekstrimisme. Lagi pula, demokrasi barat pun menemukan “roh” mereka lewat eksperimentasi. Menurut perasaan saya, masyarakat-masyarakat yang lebih sehat akan lahir dari perbenturan-perbenturan antar kekuatan ini.
Itulah jawaban yang mengagetkan yang diberikan oleh Mahbub ul Haq –ahli ekonomi Dunia Ketiga asal Pakistan yang pernah mengejutkan dengan Proverty Curtain nya- kepada Giorgie Anne Geyer, ketika yang belakangan mewawancarainya. Kenapa mengagetkan? Karena tesis geyer, kolumnis dan ahli panel televises tentang persoalan-persoalan dunia yang telah meraih berbagai hadiah berkat reportase dn komentar-komentarinternasionalnya, adalah bahwa dunia kita ini tak bias lain sedang mengalami peluruhan yang mengerikan. Banyak Negara yang sebelumnya dianggap amat kohesif dari segi struktural maupun spiritual, “telah tercabik-cabik, seperti partikel-partikel sosial kemanusiaan yang sedang menggandakan (membelah) diri menjadi bagian-bagian penyusunnya, yakni suku, klan, fundamentalisme keagamaansegala agama, geng kota, kelompok maut, gerakan teroris dan gerilya, serta kelompok yang mementingkan diri lagi berang”.
Batas-batas antarnegara telah tak lagi berlaku. Hukum-hukum perilaku internasional tak lagi dipatuhi. Sementara, makin banyak orang merasa makin tak berdaya. Aturan-aturan main dalam peperangan, kalau ia masih harus terjadi juga, pun sudah tak lagi dipedulikan oleh banyak perang-perang kecil yang serba tidak konvensional dan ireguler antara berbagai tentara yang ireguler pula.
“Saya percaya, kita sekarang sedang menapak arah yang berbahaya”, kata Javier Perez de Cuellar. Salah satu gejalanya, kata sekjen PBB kelahiran Peru ini, adalah krisis dalam pendektan multilateral dalam urusan internasional, dan sejalan dengan itu, adanya erosi atas wewenang dari status pranata interpemerintah regional maupun dunia.
Hal yang diungkapkan oleh Henry Kissinger dan Zbigniew Brezinzski, khususnya tentang politik luar negeri, hubungan kepresidenan dengan Kongres serta surutnya peran Amerika Serikat sebagai “polisi dunia”. Semua itu tentuny saja, masih mesti dilengkapi oleh krisis ekonomi global, sebagaimana diungkapkan oleh bekas Direktur Pelaksana IMF, Jacques de Larosiene de Campfeu. Krisis yang ditimbulkan oleh para “fanatic”Lebanon, Iran, kaum Sikh di India, serta menjamurnya kelompok-kelompok milisi seperti Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), Baader Meinhoff, IRA, Tentara Merah, tentara maut di Guetemala, Elsavador dan Indonesia pun tak pelak jadi contoh soal.
Kiamat atau “Genesis”?
Sebenarnya, Geyer tak lebih hanya menegaskan perkiraan yang sudah sejak satu decade yang lalu dilontarkan orang sejak Club of Rome, Schumacher, Roszak, Toffler dan sejawatnya. Bumi kita ini seolah sedang terkocok, kalau tidak malah dijungkirbalikkan. Ia bias berarti kiamat. Tapi bias juga pertanda suatu kelahiran baru. Dan Geyer akan kecele jika mengira hanya Mahbub ul-Haq ah yang menyebalkan dengan tesisnya.
Toffler, mialnya, jelas-jelas tampak optimistis menghadapi semuanya ini. Ia meski tak urung terbeliak juga oleh sepak terjang para teroris, inflasi yang membumbung dan berbagai horror sebangsanya, “berteguh bahwa dunia tidak sedang berbalik kea rah kegilaan dan bahwa, di balik segala hiruk pikuk peristiwa yang tampak membingungkan iyu, terdapat suatu pola yang menakjubkan dan secara potensial memberi harapan”.
The Third Wave, karya Toffler yang menjadi sumber kutipan ini, diperuntukkan bagi orang-orang yang berpikiran bahwa kisah umat manusia jauh dari telah tamat. Ia baru saja mulai. Kurang lebih demikian pulalah John Naisbitt, yang dengan cermat lagi simpelmemetakan apa yang disebutnya sebagai sepuluh megatrends kea rah mana dunia kita beranjak, beranggapan. Toh, perubahan bukanlah sesuatu yang baru bagi umat manusia, begitu piker mereka, brangkali. “Perubahan”, kata Frederick Williams, “adalah nama permainan kita”.
Yang agak lain, paling tidak di permukaan, barangkali adalah pendapat Marylin Ferguson dalam The Aquarian Conspiracy. Tidak seperti yang lain-lain yang memandang kelahiran baru ini masih sebagai suatu continuum dengan masa lampau umat manusia, Ferguson malah memproklamasikan adanya keterputusan. Ia meramalkan terjadinya apa yang meminjam terminology Thomas Kuhn, disebut sebagai “Pergeseran Paradigma” (paradigm shift). Dunia memang akan survive, setelah tak pelak berbalik secara drastis ke arah spiritualisme, kea rah pengembangan penuh potensi jiwa manusia (human mind).
Bersambung ke Spiritualisme : Masa Depan Manusia?