Oleh Abu Hanief
Website kami yang beri nama baitulhanief.com atau www.baitulhanief.com dilatarbelakangi oleh rumah kami yang dihuni oleh anak kedua kami yang bernama Hanief. Tentu saja nama tersebut – baitulhanief.com - berharap memberi spirit dalam cita-cita dan aktivitas kami dalam menuju tujuan hidup ini.
Baitul Hanief berasal dari bahasa arab yang terdiri dari dua kata yaitu Albaitu dan Hanief. Albaitu ( اَلْبَيْتُ) yang berarti rumah dan hanief (حَنِيْف) berarti lurus. Sesuai namanya maka baitulhanief ingin menjadi rumah yang penghuninya adalah para hanifiyyah yaitu orang-orang lurus di jalan Allah ‘Azza wa Jalla.
Menurut ilmu sharaf atau morfologi (ilmu tentang bentuk kata), kata albait berasal dari kata bata yabiitu baitan (بَاتَ يَبِيْتُ بَيْتًا ) yang mempunyai arti bermalam. Berarti Albait adalah rumah untuk bermalam. Dalam salah satu kamus bahasa arab, albait berarti tempat untuk keluarga berlindung pada malam hari baik ia tidur ataupun tidak.
Adapun kata hanief dalam bahasa arab biasa diartikan lurus (mustaqim atau istiqomah), ada juga hanief itu berarti codong kepada kebenaran (khair). Di dalam AlQur’an sering kata-kata hanief disandingkan untuk mensifati nabi Ibrahiem. Bahkan orang-orang sebelum Muhammad SAW diutus menjadi nabi, orang-orang yang tidak menyembah berhala dan berpegang teguh pada ajaran Ibrahiem, disebut haniefiyyah.
Dalam AlQur’an QS. Ali Imran : 95 – 96 Allah berfirman :
قُلْ صَدَقَ اللَّهُ ۗ فَاتَّبِعُوا مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ (95) إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ (96)
Artinya :
( 95 ) Katakanlah: "Benarlah (apa yang difirmankan) Allah". Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik.
( 96 ) Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.
Dalam kedua ayat diatas terdapat kata hanief pada ayat 95 dan bait pada ayat 96. Hanief pada ayat 95 nya mengikuti dan mensifati milah atau agama Nabi Ibrahiem alaihissalam yang lurus. Sedangkan bait pada ayat 96, Allah menerangkan bahwa rumah yang pertama dibangun untuk manusia adalah baitullah di Makkah. Fakhru Razi dalam kitab Tafsier AlKabir atau Tafsir Mafaatihul Ghaib[1] menerangkan tentang Albait, bahwa ada 2 pendapat besar menurut para mufassirin. Pendapat pertama, menurut Al-Wahidi dalam tafsirnya Al-Wasith melalui riwayat Mujahid dan Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib dan dari Nabi SAW bahwa Ka’bah Baitullah adalah rumah yang pertama dibangun sejak Nabi Adam ‘alaihissalaam. Adapun pendapat kedua adalah Ka’bah adalah rumah pertama yang diberkahi bagi manusia untuk dijadikan tempat beribadah kepada Allah.
Allah Ázza wa Jalla menjadikan Ka’bah sebagai Baitullah yang di dalamnya banyak terdapat tanda-tanda kekuasaanNya[2], juga menjadikannya sebagai tempat berkumpulnya manusia dan tempat yang aman[3], dan menjadikannya sebagai rumah suci dan pusat peribadatan dan urusan dunia bagi manusia[4].
Di Sekitar Rumah Allah
Bagi kami, berusaha menjadikan baitulhanief menjadi rumah yang mengikuti milah Nabi Ibrohim, – yang Nabi Muhammad SAW dan umatnya disuruh mengikutinya – terutama pelajaran atau filosofis pada manasiknya (cara dan tempat haji)[5]. Masjid dengan rumah kita harus seperti Baitullah di Makkah dan Tempat-tempat manasik yaitu Arafah, Masyár dan Mina dalam rangkaian ibadah Haji. Rumah kita yang menjadi tempat kita tinggal dan tempat bermalam harus menjadi seperti tempat-tempat seperti Arafah sebagai tempat wuquf (tempat singgah), Masyár sebagai tempat mabit (tempat bermalam) dan Mina sebagai tempat “bercinta” ketika manasik haji.
Haji yang merupakan rukun islam kelima merupakan miniature hidup kita yang “Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun”[6]. Oleh karena itu, hidup kita merupakan gerakan menuju keindahan yang mutlak, kekuasaan yang mutlak, kesempurnaan dan keabadian. Berangkat dari Makkah ke Arafah (pada tanggal 9 dzulhijjah) merupakan Innaa Lillah (sesungguhnya kami dari Allah) dan kemudian kembali ke Baitullah ka’bah (tgl 10 dzulhijjah untuk thawaf ifadah) merupakan Innaa Ilaihi raaji’uun (Sesungguhnya kepadaNya kami kembali). Ketika kembali kepada Allah maka ada 3 fase yang harus dilalui, yaitu Arafah, Masy’ar dan Mina. Ketiganya bukan hanya sekedar tempat, tetapi maksud dari penekanan periode-periode berhenti pada masing-masing fase dan juga keputusan untuk melewati fase-fase ini penting untuk diketahui. Allah sendiri telah menamai ketiga tempat itu adalah :
1. ‘Arafah berarti : “Pengetahuan” dan “Sains”
2. Masy’ar berarti : “Kesadaran” dan “Pemahaman”
3. Mina berarti : “Cinta” dan “Keimanan”
Arafah melambangkan awal penciptaan manusia dengan kisah Nabi Adamnya (pertemuan Adam dan Hawa di dunia sesudah terusir dari surga karena memakan buah terlarang adalah di bukit cita/jabal rahmah di Arafah). Saat penciptaan penciptaan manusia berbarengan dengan penciptaan “pengetahuan”. Percikan pertama dari cinta yang memancar dalam perjumpaan Adam dan Hawa mendorong mereka untuk saling memahami. Itulah isyarat pengetahuan yang pertama. Adam mengetahui bahwa istrinya memiliki jenis kelamin yang berbeda dan berasal dari sumber serta alam yang sama. Konsekwensinya, dari sudut pandang filosofis, eksistensi manusia sama tuanya dengan eksistensi pengetahuan; dari sudut pandang ilmiah, sejarah manusia dimulai dengan pengetahuan.
Fase selanjutnya adalah Masyár. Dimana manusia diperintahkan untuk segera menuju masyár menjelang senja[7]. Ya, di Árafah kita hanya wuquf sehari dan sebelum tenggelamnya mentari, kita harus menuju ke fase berikutnya yaitu Masyár (negeri kesadaran). Dalam Al-Qurán, Árafat sebagai symbol “pengetahuan/sains” digunakan dalam bentuk jama’ sementara Masy’ar dalam bentuk tunggal. Hal ini bisa menggambarkan kepada kita bahwa realitas bisa dijelaskan dalam berbagai cara, tetapi kebenaran tetap hanya satu. Satu-satunya jalan adalah jalan berjuang karena Allah (Masy'aril Haram). Sains adalah penemuan berbagai “fenomena yang ada sebelumnya”. Arafah bagaikan sebuah cermin yang memantulkan seluruh warna , desain dan pola dalam ukuran besar. Alam semesta ini bagaikan sebuah cermin yang ketika menghadapi dunia (benda-benda duniawi) ia merefleksikan ilmu fisika, dan ketika menghadapi agama, ia merefleksikan jurisprudensi (hukum/fiqh).
Sesungguhnya tidak ada yang namanya pengetahuan yang baik atau buruk. Yang mungkin adalah, pengetahuan itu berguna atau berbahaya; sedangkan menyatakan kesucian atau ketidaksucian dari pengetahuan adalah tidak ada artinya. Kapan pun dan dimana pun, pengetahuan tetap pengetahuan, baik bagi muslim maupun non muslim, bagi pengabdi maupun bagi penghhianat. Batas-batas hanya ada dalam kesadaran yang akan menggunakan pengetahuan, mengarahkannya dan apakah akan berakhir secara bermoral atau tidak bermoral, damai atau perang, dan adil atau zhalim.
Sungguh menjadi pelajaran bagi kita bahwa berhenti di Masy’aril Haram pada malam hari, sementara istirahat di ‘Arafah dilakukan pada waktu siang. Mengapa berbeda? Karena ‘Arafah melambangkan fase pengetahuan dan sains, yakni hubungan objektif antara berbagai pemikiran dan fakta-fakta dunia yang ada. Visi yang jelas sangat diperlukan; oleh karena itu yang diperlukan adalah cahaya (siang hari). Masy’ar melambangkan fase kesadaran, yakni hubungan subjektif di antara berbagai pemikiran, oleh karena itu, kekuatan pemahaman dapat diperoleh dengan cara lebih berkonsentrasi dalam kegelapandan dan keheningan “malam hari”. Siapapun bisa mempelajari pengetahuan tentang ‘Arafah, tetapi intuisi tentang Masy’ar adalah cahaya yang Allah masukkan ke dalam hati orang-orang yang dikendakiNya.
“Allah menganugerahkan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya”[8].
Siapakah mereka? Mereka bukan orang-orang yang bekerja demi kepentingan dirinya sendiri tetapi orang-orang yang berjuang demi kepentingan kemaslahatan orang lain. Allah SWT berfirman : “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”[9]. Hikmah adalah pengetahuan mengenai petunjuk, kesadaran diri, pembebasan dan keselamatan. Untuk mempelajari pengetahuan ini tidak perlu cahaya, karena hikmah itu cahaya itu sendiri. Hikmah tidak hanya melatih para saintis, tetapi juga para intelektual yang sadar dan bertanggung jawab.
Sedangkan keesokan harinya setelah ‘Arafah dan Masy’ar, manusia yang berpengetahuan dan tersadarkan akan menuju mina dengan penuh cinta dan iman untuk jihad (melempar jumrah) dan berkurban di sana.
Rumah
Begitulah rumah yang berasal dari kata bait yang berarti bermalam, bukan hanya untuk tidur tetapi harus menjadi tempat mengasah kesadaran dengan aktivitas dzikir dan ibadah sehingga menjadikan penghuninya sebagai ibadurraahman[10]. Rumah yang menjadi seperti ‘Arafah di siang hari dan menjadi Masy’ar di malam hari, akan bisa mengundang datangnya hikmah. Allah akan memasukkan cahayaNya (nur) kepada rumah siapa saja yang dikehendakiNya[11]. Hikmah merupakan cahaya yang terang benderang, yang diberikan Allah kepada Nabi SAW yang tidak dapat membaca. Hikmah adalah jenis pengetahuan atau wawasan tajam yang disampaikan kepada manusia oleh para nabi dan bukan oleh para saintis dan filosof.
Rumah yang didalamnya terdapat suasana sekolah ‘Arafah yang mendorong untuk menggali terus banyak informasi dan pengetahuan sekaligus terdapat suasana Masy’ar yang menumbuhkan kesadaran diri dan persiapan mental seperti malam di muzdalifah yang sekaligus mengumpulkan 70 butir senjata kerikil untuk jumrah. Maka ketika keluar rumah terjun dalam kancah kehidupan, bagaikan pasukan haji Besar pada hari Ied - melempar jumrah, hadyu/qurban, ifadhah ke baitullah dan ke Mina kembali - dengan penuh cinta, mereka siap menghancurkan berhala-berhala peradaban serta berkurban dengan segala yang dicintainya dengan tidak lupa selalu berkait kepada masjid sebagai sumber charger yang hebat untuk meneruskan pergumulannya dalam kehidupan mina sampai prosesi haji selesai di hari ke-12 atau ke-13.
Rumah yang dapat mengintegrasikan kesadaran spiritual dan potensi kemanusiaan lainnya, akan melahirkan manusia yang sanggup mengatasi pertentangan antara keinginan dirinya dengan tuntutan iklim budaya dan peradabannya. Juga akan dapat menghasilkan pengendali zaman bukan manusia robot yang siap ditadah pabrik-pabrik kapitalis atau pemilik modal.
[1] Fakru Razi, Tafsir Mafatihul ghaib juz 8, cet darul fikri
[2] QS. 3 : 96
[3] QS. 2 : 125
[4] QS. 5 : 97
[5] QS. 2 : 128
[6] QS. 2 : 46
[7] QS. 2 : 198
[8] QS. 2 : 269
[9] QS. 29 : 69
[10] QS. 25 : 64
[11] QS. 24 : 35.